Heboh Rekaman Rini-Sofyan, Solihin Kalla Ungkap Peran Ari ...

Akhir pekan lalu, dunia maya dihebohkan rekaman pembicaraan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. Percakapan yang tersebar melalui jejaring sosial Instagram dan Twitter itu membahas proyek terminal regasifikasi LNG.

Pada salah satu bagian percakapan terdengar suara Sofyan:

Anda Belum Menyetujui Syarat & Ketentuan

Email sudah ada dalam sistem kami, silakan coba dengan email yang lainnya.

Alamat email Anda telah terdaftar

Terimakasih Anda Telah Subscribe Newsletter KATADATA

Maaf Telah terjadi kesalahan pada sistem kami. Silahkan coba beberapa saat lagi

Silahkan mengisi alamat email

Silahkan mengisi alamat email dengan benar

Masukkan kode pengaman dengan benar

Silahkan mengisi captcha

+ "Jadi, minggu ini atau minggu depan saya akan ketemu Pak Ari lagi. Saya akan terang-terangan, Pak Ari, turunlah. Malu saya kalau (PLN) cuma 7,5 persen."

Di seberang, Rini membalas:

- "Menurut saya, PLN dan Pertamina kan off take, tidak mungkin dong kalau kecil. Besok saya ngomong ke kaka saya."

Sabtu kemarin, Kementerian BUMN menyatakan bahwa rekaman percakapan tersebut tidak sesuai dengan kejadian sesungguhnya. Beberapa bagian sengaja diedit untuk memberikan informasi yang salah dan menyesatkan. Kementerian juga menegaskan bahwa percakapan tersebut bukan membahas tentang 'bagi-bagi fee'. (Baca:  Kasus Rekaman Rini-Dirut PLN, BUMN Siapkan Bukti untuk Lapor ke Polisi).

Sekretaris Kementerian BUMN, Imam Apriyanto Putro mengatakan Rini dan Sofyan memang berdiskusi mengenai rencana investasi proyek penyediaan energi yang melibatkan PLN dan Pertamina. Dalam hal ini, keduanya memiliki tujuan sama untuk memastikan investasi tersebut memberikan manfaat maksimal bagi PLN dan negara.

Selain nama Ari, bagian lain rekaman menyinggung satu tokoh penting negara, Kalla. Nama ini merujuk pada klan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Senin kemarin, Kalla menyatakan proyek gas tersebut dimulai pada 2013, jauh sebelum ia menjadi Wakil Presiden, sebagai proyek swasta murni.

Adapun terkait Ari, kata Kalla, terlibat sebagai tim ahli yang diminta Bumi Sarana Migas (BSM), pemegang proyek di Bojanegara, Serang, Banteng. Sebagai mantan Direktur Pertamina, kaka Menteri Rini itu dinilai mampu membantu pengembangan proyek tersebut. (Baca pula: Jokowi Enggan Komentari Pembicaraan Telepon Rini dan Dirut PLN).

Penjelasan lebih jauh disampaikan CEO Kalla Group, Solihin Kalla. Menurutnya, proyek tadi merupakan gagasan dari Kalla Group yang kemudian ditawarkan kerja sama kepada PT Pertamina pada 2013. Proyek infrastruktur Terminal Regasifikasi LNG ini akan dibangun dengan tingkat kehandalan yang tinggi serta kompetitif.

Karenanya, pada 2013, PT Bumi Sarana Migas (BSM) – anak perusahaan Kalla Group- meminta Ari Soemarno bergabung sebagai Koordinator Senior Proyek. Ini salah satu program mengefisiensikan distribusi gas. (Baca:  Soal Rekaman Rini dan Dirut PLN, Kementerian BUMN: Bukan Bahas Fee).

"Penunjukan Pak Ari sebagai Kalla Group Senior LNG Project Coordinator didasarkan pada profesionalitas dan keahlian beliau yang sudah puluhan tahun menggeluti sektor LNG," kata Solihin melalui keterangan resminya yang diterima Katadata, Selasa (1/5/2018). "Kerja sama (proyek) ini murni business to business."

Proyek terminal regasifikasi LNG ini, Solihin melanjutkan, dibangun untuk mengantisipasi ancaman defisit gas di Jawa bagian barat dan kesiapan lahan yang  dimiliki anak perusahaan Kalla Group sejak tahun 1990-an. Rancangan proyek sejalan dengan rencana pemerintah agar perusahaan swasta berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur.

Kalla Group lalu memutuskan, pada 2013, untuk menunjuk salah satu Konsultan Teknik dari Jepang yang berpengalaman dan memiliki teknologi terbaik dalam merancang bangun Terminal Regasifikasi LNG. Konsultan ini pun melakukan studi kelayakan. Hasilnya, lokasi yang sangat ideal untuk Terminal Regasifikasi LNG di darat.

Solihin mengatakan, pada 12 Mei 2014, nota kerja sama BSM dan Pertamina ditandatangani. Kedua pihak setuju melakukan joint study. BSM bersedia mengalokasikan 30 hektare lahan dan mengajak Tokyo Gas Co Ltd dan Mitsui untuk bermitra dan membentuk joint venture Terminal Regasifikasi dengan kapabilitas pendanaan, teknologi, dan operasional pengelolaan terminal, dan distribusi.

Lalu, dia menambahkan, pada 1 April 2015 BSM meneken pokok-pokok kesepakatan (head of agreement/HoA) dengan Pertamina untuk membangun terminal penyimpanan dan regasifikasi LNG Bojanegara senilai US$ 500 juta. Dalam hal ini, Pertamina terlebih dahulu ingin mengamankan pelanggan terbesarnya, PLN. Oleh karena itu, sebagai off-taker, PLN diajak dalam kepemilikan Proyek LNG di Bojanegara. Pembahasannya masih berlanjut hingga awal 2017.

Semula, dalam proyek private public partnership (PPP) ini, BSM menyerahkan off-taker LNG kepada Pertamina, yang kemudian menggandeng PLN. Sekitar akhir 2016, BSM menawarkan kepemilikan saham kepada Pertamina dan PLN 15 persen. Ketika itu, BSM memiliki saham 50 persen, Tokyo Gas dan Mitsui 35 persen, sisanya 15 persen ditawarkan kepada Pertamina dan PLN. "Kami membuka kesempatan peningkatan kepemilikam saham BUMN hingga 25 persen. Jadi, ini bukan soal bagi-bagi fee," ujar Solihin.

Bantahan bagi-bagi fee juga disampaikan Sofyan Basir. Kepada Katadata Senin kemarin dia berkata, "Masa Direktur Utama PLN bagi fee sama menteri." (Baca: Direktur PLN Buka-bukaan Isi Percakapan dengan Menteri Rini).

Menurutnya, pembicaraan itu membahas proyek terminal penampungan gas alam cair di Bojanegara yang digagas PT BSM. Proyek ini mulai sejak 2014. Adapun dana investasi yang dibutuhkan sekitar US$ 600 hingga 700 juta. Kapasitas terminal penampungannya bisa mencapai 500 MMSCFD.  

Sofyan pun meminta saham di proyek tersebut. Pertimbangannya, PLN merupakan pembeli gas dari terminal penampungan LNG itu, bahkan akan menyerap hingga 60 persen.

Dengan memiliki saham di proyek tersebut, PLN akan tahu nilai investasinya dan harga pokok gas yang akan diserap. "Supaya saya bisa lebih efisien dan irit. Itu niat baik saja yang sangat di-support dan didukung Bu Rini," ujar Sofyan. PLN lalu meminta 30 persen saham kepada Menteri BUMN, atau minimal 15 persen. Akan tetapi, PLN hanya memperoleh 7,5 persen.

Anggita Rezki Amelia, Ihya Ulum Aldin

next page